Cherreads

Chapter 2 - beradaptasi

Aku menumpuk kotak-kotak kardus di sudut ruangan, lalu menghela napas panjang.

Akhirnya, sampai juga di sini.

Mulai sekarang, ibu dan aku akan tinggal di rumah baru ini—babak baru dalam hidup yang belum pernah kami jalani sebelumnya.

Para pekerja pindahan sibuk mengangkut barang-barang dan perabotan. Aku memperhatikan mereka satu per satu, memastikan tidak ada yang tertinggal.

Karena ibu masih bekerja, aku harus mengurus semuanya sendiri.

Dan dalam waktu singkat, ruang tamu sudah dipenuhi tumpukan kardus.

Hari ini, karton adalah musuhku.

Sebagian besar barang adalah milik ibu—lemari, meja, rak, dan segala macam perabotan yang entah bagaimana akan tertata nanti.

Sementara milikku? Hanya dua kotak kardus kecil.

Aku meliriknya sebentar, dua kotak yang tampak sepele dibandingkan dengan tumpukan barang lain.

"Permisi, kami sudah selesai membawa semua barang bawaan Anda. Kami ingin memberitahukan bahwa semuanya sudah tertata di dalam, ucap salah satu pekerja pindahan.

Aku menoleh dan tersenyum kecil.

"Terima kasih banyak. Maaf kalau barang bawaan kami cukup banyak."

"Tidak, tidak! Bukan itu..."

Wanita yang bekerja di perusahaan pindahan tampak sedikit gelisah. Ia tertunduk sebentar, seolah ragu-ragu sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatapku.

Ada sesuatu di matanya—seperti ada hal lain yang ingin ia sampaikan, tapi ia menahan diri.

Saat aku menunggu wanita itu berbicara, ia tampak ragu-ragu, seolah berusaha memilih kata yang tepat.

"Eh, baiklah... pekerjaan apa yang kamu lakukan?" tanyanya akhirnya, dengan sedikit canggung.

Aku mengerutkan kening. Pekerjaan?

"Oh, maaf. Apakah kamu mahasiswa?" lanjutnya.

Aku menggeleng. "Tidak, saya masih siswa SMA."

Wanita itu tampak kaget. Matanya melebar seakan baru saja mengetahui sesuatu yang tak terduga.

"Siswa SMA?" ulangnya dengan nada tak percaya.

Aku mencoba menahan senyum. Apakah aku terlihat lebih dewasa dari usiaku?

Dari sudut pandang mana pun, menurutku penampilanku cukup standar untuk seorang siswa SMA. Tapi di kota, mungkin ada pandangan berbeda tentang seseorang yang baru datang dari desa.

Aku jadi teringat cerita Nenek Miranti.

Katanya, di kota besar, ada istilah "penghilangan"—kejadian di mana seseorang tiba-tiba terjerat dalam sesuatu tanpa menyadari apa yang terjadi.

Seperti tertelan oleh hiruk-pikuknya.

"Aku harus hati-hati," pikirku dalam hati.

Jakarta bukan desa kecil yang nyaman dan penuh wajah akrab. Ini tempat orang-orang dengan berbagai tujuan, tempat ambisi uang yang berbicara lebih keras dari sekadar keramahan.

Aku menarik napas dalam.

"Sejauh ini, aku beruntung..." ...

Wanita itu bergumam dengan suara pelan, membuatku sulit menangkap kata-katanya. Aku memiringkan kepala sedikit, mencoba memahami maksudnya.

Saat aku melakukannya, ia mengangkat wajah dan menatap lurus ke arahku.

Ada ketidakpastian dalam sorot matanya, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi masih ragu-ragu.

Aku langsung menyadari itu.

"Hm! Kalau kamu tidak keberatan… ini," katanya sambil menyodorkan sesuatu kepadaku.

"H-halo?" balasku, bingung.

Aku melihat selembar kertas di tanganku.

Ada nomor telepon tertulis di sana.

"Baiklah, aku tidak memaksamu untuk melakukannya. Jika menurutmu ini sesuatu yang baik… kalau begitu, tidak apa-apa. Namun, saya ingin kamu merasa bebas untuk datang… atau lebih tepatnya, jangan sungkan untuk menghubungi. Saya akan menunggu."

Aku mengerutkan kening.

Nomor ini... apa maksudnya sebenarnya?

Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal.

"Aku bukan siapa-siapa, hanya anak kampung," gumamku dalam hati—pesan dari guru di desa yang selalu kujadikan pegangan.

Aku memang bukan siapa-siapa di kota ini, tak ada alasan bagi seseorang memperhatikanku.

Aku memiringkan kepala, masih dalam kebingungan, sebelum mendengar suara dari arah pintu depan.

"Lace! Kita akan segera pergi!"

Aku menoleh, melihat pekerja pindahan lain bersiap meninggalkan rumah baru kami.

"Baiklah, itu saja! Terima kasih atas kerja kerasnya."

Wanita itu menundukkan kepala sedikit sebelum berbalik dan berjalan pergi.

Aku masih menatap punggungnya, ada sesuatu dalam interaksi tadi yang membuatku berpikir lebih lama dari yang seharusnya.

Pada akhirnya, aku benar-benar terpikat.

...atau lebih tepatnya, penasaran.

"Apa ini?"

Aku menatap selembar kertas di tanganku.

Di sana, tertulis sebuah nomor telepon.

Aku memiringkan kepala, mencoba memahami maksud di balik pemberian ini.

"Kalau menurutnya ini sesuatu yang baik, apa sebenarnya maksudnya?"

Aku mengamati tulisan itu lebih dekat.

Ini nomor dari perusahaan pemindahan... bukan sesuatu yang seharusnya mencurigakan.

"Mungkin jika ada sesuatu yang penting, aku bisa menghubunginya…" pikirku dalam hati.

Tapi, rasanya aneh jika mereka menyerahkannya begitu saja dalam bentuk selembar kertas tanpa penjelasan lebih lanjut.

Apa ini hanya kontak darurat?

Atau ada makna lain yang belum kupahami?

Aku menarik napas.

"Aku bukan siapa-siapa, hanya anak kampung," pesan dari guruku terngiang kembali.

Tidak ada alasan bagi seseorang di kota ini untuk secara khusus memperhatikanku.

Tetapi entah kenapa...

Ada sesuatu dalam interaksi ini yang terasa berbeda.

Aku menatap kertas itu sekali lagi, lalu akhirnya menyelipkannya ke dalam saku.

"Orang-orang di kota ternyata baik juga."

Aku menghela napas, memutuskan untuk tak terlalu memikirkannya.

Aku menoleh ke luar jendela.

Pemandangan terbentang luas di hadapanku, lebih besar dari yang pernah kulihat sebelumnya.

Aku tersenyum kecil. Pemandangan yang bagus.

Karena ini adalah gedung apartemen bertingkat tinggi, pemandangan di luar begitu luas, seolah tak ada batasnya.

Aku berdiri di dekat jendela, membiarkan mataku menyapu setiap sudut kota yang terbentang di depan.

"Jadi, ini Jakarta..."

Seperti dugaanku, semuanya terasa berbeda.

Bangunan-bangunan menjulang, jalanan ramai, dan udara yang dipenuhi hiruk-pikuk kehidupan yang terus bergerak.

Tidak seperti di desa, di mana aku bisa mengenali hampir semua orang yang lewat di jalan utama, di sini… setiap wajah adalah asing.

Aku menarik napas dalam, mencoba menerima kenyataan baru ini.

Jakarta terasa megah, tapi juga… sedikit menakutkan.

Jika aku tidak berhati-hati, aku bisa saja terluka—bukan hanya secara fisik, tetapi juga kehilangan diri sendiri dalam arus kota yang bergerak begitu cepat.

Namun, mengingat pengalaman tadi, aku sadar bahwa tidak semua orang di sini memiliki niat buruk.

Mungkin tempat ini tidak sekeras yang kubayangkan.

"Baiklah, mari kita lakukan."

Aku mengalihkan pikiranku dan mulai membongkar barang-barang.

Aku hanya punya dua kotak kardus, jadi tidak butuh waktu lama untuk merapikannya.

Setelah selesai, aku meregangkan tubuh dan melirik jam di dinding. Masih cukup pagi.

Aku memutuskan untuk keluar sebentar.

Saat kecil, aku suka berjalan-jalan di desa, menikmati udara segar, melihat orang-orang yang saling menyapa.

Sekarang, di tempat baru ini, aku ingin mencoba hal yang sama—melihat sekeliling, mengenali ritme kota ini dengan caraku sendiri.

"Mungkin sekalian potong rambut," pikirku.

Aku meraih jaket tipis dan bersiap meninggalkan rumah.

Di gedung apartemen bertingkat tinggi seperti ini, lift adalah hal yang biasa.

Aku menekan tombol dan menunggu pintu terbuka.

Lift akhirnya datang.

Aku melangkah masuk dan menekan tombol lantai pertama.

Saat pintu mulai tertutup, seseorang muncul di luar lift.

Seorang gadis, matanya tertuju pada layar ponsel pintarnya, seolah dunia di sekelilingnya menghilang.

Aku buru-buru menekan tombol "buka", membiarkan pintu kembali terbuka.

Rambutnya panjang, berkilau, dan nyaris sehitam malam, bergoyang setiap kali ia melangkah.

Tanpa banyak ekspresi, dia tetap berdiri di luar pintu lift

Kulitnya seputih porselen, dan matanya sipit—ada sesuatu dalam bentuknya yang membuatnya tampak seperti kucing.

"Bagaimanapun juga, ini kota besar," pikirku. Wanita cantik seperti ini mungkin bukan hal yang langka di Jakarta.

Namun, tetap saja, ada sesuatu tentangnya yang mencuri perhatianku.

Langkahnya melambat.

Gerakannya tidak stabil, seolah pikirannya masih tenggelam dalam dunia yang ada di ponselnya.

Aku mengamatinya sebentar, tak ingin terlihat terlalu jelas.

Akhirnya, ia berhenti.

Ia menatap layar, ekspresinya seolah sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Sungguh orang yang bebas," gumamku pelan.

Mungkin karena dia cantik, bahkan saat hanya berdiri sambil memandangi layar ponselnya, ada sesuatu yang membuatnya tampak istimewa.

Aku tersenyum kecil. "Tidak, ini bukan hal penting." 

(Tapi mereka tidak pernah datang...)

-----------------

Jadi, menurut kalian—

Momen mana yang paling bikin ngakak?

Si kampung bakal sukses di sekolah elite atau malah kena drama nggak jelas?

Tetangga misteriusnya bakal jadi teman, musuh, atau... lebih dari itu?

Ayo share pendapat kalian biar ceritanya makin seru!

More Chapters