Aku masih kecil, mungkin kelas dua SD saat itu. Tapi hatiku seperti orang dewasa yang dipaksa mengerti, tanpa pernah benar-benar diberi penjelasan.
Malam itu, hujan turun pelan. Bapak duduk di depan mesin jahitnya, tetapi tak satu pun jahitan dimulai. Mama berdiri di ambang pintu, membawa dua koper kecil dan satu tas jinjing.
"Sudah malam, tunggu besok pagi saja," kata Bapak tanpa menoleh.
"Nggak usah. Lebih baik sekarang."
"Anakmu udah tidur."
"Dia harus tahu."
Aku tidak tidur. Aku mendengar semuanya. Dari balik pintu kamar yang setengah terbuka, aku melihat keduanya—orang tuaku—berdiri seperti dua orang asing di stasiun terakhir, tanpa salam perpisahan yang jelas.
"Le, ayo, ikut Mama," panggil Mama dari depan pintu kamar.
Aku keluar perlahan, mengucek mata, pura-pura bingung.
"Mau ke mana, Ma?"
Mama tersenyum tipis, senyum yang kering dan lelah.
"Ke rumah Uti. Kita nginap beberapa hari."
Aku menatap ke arah Bapak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menatap meja jahitnya.
"Kamu ikut Mama ya, Le. Jagain Mama."
"Tapi... aku belum bilang makasih sama Bapak."
Aku berlari memeluk Bapak, mencium pipinya. Ia tak menangis. Tapi dadanya bergetar. Pelukannya kencang.
"Jangan nakal, Le. Jangan lupa shalat."
"Nanti aku balik lagi, ya Pak?"
"Iya... kapan-kapan."
---
Perjalanan malam ke rumah Uti di pinggiran kota terasa seperti mimpi yang kabur. Aku tidak menangis. Tapi dada ini penuh. Ada yang tertinggal di rumah itu, lebih dari sekadar baju atau mainan.
Beberapa hari menjadi berminggu-minggu. Lalu berbulan-bulan.
Mama sibuk menjahit juga, tapi tidak seperti Bapak. Ia lebih sering keluar, mencari tambahan penghasilan dari rumah ke rumah. Sementara aku... mulai sekolah di tempat baru, teman baru, tapi tanpa mesin jahit yang menemaniku tidur.
"Mama... Bapak kemana?"
"Di Semarang."
"Boleh telepon?"
Mama terdiam.
"Nanti, ya."
---
Hari-hari berikutnya aku mulai mengenal kata: pisah.
Pisah bukan berarti tak sayang. Pisah bukan berarti lupa. Tapi pisah, kadang, adalah satu-satunya cara untuk tidak saling melukai lebih dalam.
Namun, tidak ada yang bisa mengubah satu fakta: Aku anak mereka berdua.
Dan di setiap malam, sebelum tidur, aku tetap menulis surat kecil—tanpa alamat—untuk Bapak.
"Pak, hari ini aku dapat nilai bagus. Tapi aku lupa warna benang favorit Bapak... Merah atau hijau, ya?"