Cherreads

Dosa di Atas Tanah Leluhur

Heart_Stoon
42
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 42 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Di balik hamparan sawah dan rimbunnya pepohonan, Desa Waringin Jati menyimpan luka yang tak pernah sembuh. Sebuah kutukan mengakar kuat sejak malam penghakiman tak sah puluhan tahun silam, ketika seorang pemuda bernama Joko dituduh sebagai pembawa sial dan dihukum mati tanpa keadilan. Malam itu, darahnya menyatu dengan akar pohon waringin tua—dan sejak saat itu, desa tak pernah benar-benar damai. Arya, seorang pemuda yang kembali ke desa kelahiran ayahnya setelah lama tinggal di kota, datang tanpa menyadari bahwa dirinya adalah kunci dari semua rahasia kelam itu. Sejak kedatangannya, teror demi teror supranatural mulai muncul: bisikan dari kabut, mimpi yang terasa nyata, hingga penampakan sosok-sosok berdarah yang tak bisa dilupakan. Bersama Pak Jatmiko, seorang tetua yang menyimpan banyak rahasia, dan Sari, gadis desa yang keluarganya menjadi korban kutukan, Arya menelusuri jejak masa lalu yang disembunyikan oleh warga. Mereka menemukan bahwa Joko bukan satu-satunya korban. Di balik wajah damai desa, tersimpan dendam dari para arwah yang tak tenang—dan semuanya mengarah pada satu nama: keluarga Arya sendiri. Darah Arya mengandung dua garis yang berseberangan—keturunan penjaga gerbang dan algojo pertama. Ketika kutukan mulai bangkit kembali dan arwah-arwah haus keadilan mengepung desa, Arya dihadapkan pada pilihan terberat: menebus dosa dengan mengorbankan dirinya, atau membiarkan kutukan terus memakan generasi berikutnya. Bayang-Bayang Waringin Jati adalah kisah kelam tentang warisan dosa, pertarungan batin, dan kekuatan memilih jalan penebusan. Di tengah kabut dan bayangan yang tak terlihat, hanya mereka yang berani menatap masa lalu yang bisa menyelamatkan masa depan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Dosa di Atas Tanah Leluhur

Bab 1 – Pulang yang Terlambat

Langit mulai tenggelam dalam warna tembaga ketika Arya menjejakkan kakinya di tepi Desa Waringin Jati, desa yang telah ia tinggalkan lima belas tahun silam. Hanya dengan satu ransel di punggung dan surat usang di tangan, ia berdiri di antara gerbang bambu tua yang miring, nyaris roboh, diselimuti lumut dan akar menjalar.

Surat itu dikirim tanpa nama pengirim yang jelas, hanya tertulis:

"Waringin Jati memanggil darahnya. Sebelum malam terakhir datang, pulanglah. Warisanmu bukan tanah, tapi dosa yang belum dibayar."

Arya tak berniat kembali, tidak setelah peristiwa tragis yang menimpa keluarganya dahulu—ayahnya mati tergantung di pohon waringin besar, ibunya hilang tanpa jejak. Ia dibesarkan di panti asuhan kota, meninggalkan desa ini seperti menghapus mimpi buruk. Tapi surat itu… seolah ditulis oleh seseorang yang tahu sesuatu yang ia lupakan, atau lebih buruk lagi—yang ia abaikan.

Desa itu tampak membeku dalam waktu. Rumah-rumah berdinding bilik bambu, atap rumbia yang lapuk, dan pagar-pagar kayu yang ditelan semak. Tapi yang paling mencolok bukanlah bentuk fisik desa—melainkan suasananya.

Sepi.

Tidak ada anak-anak berlarian. Tidak ada ibu-ibu menimba air dari sumur. Bahkan anjing desa pun tak terdengar menggonggong. Yang ada hanya desir angin, gesekan dedaunan, dan sesekali suara ranting patah yang entah datang dari mana.

Saat Arya menyusuri jalan setapak yang dulu ia lalui tiap sore, ia merasa pandangan mengikuti langkahnya dari balik jendela yang tertutup kain lusuh. Di sudut jalan, ia melihat seorang perempuan tua berdiri kaku di bawah pohon kelapa. Tubuhnya dibalut kebaya hitam dan jarik coklat gelap, rambutnya digelung rapi, dan wajahnya tersembunyi dalam bayang. Ia tidak bergerak, tidak berkata apa-apa. Hanya menatap.

Arya berhenti. Matanya mencoba fokus, tapi begitu angin bertiup kencang, sosok itu… lenyap. Seolah menguap bersama udara.

Arya mengusap wajah, menyalahkan lelah perjalanan. Tapi rasa tidak nyaman mulai menjalari tubuhnya. Ia mempercepat langkah menuju rumah yang menjadi alamat dalam surat: rumah Nyi Sumirah.

Nyi Sumirah dulunya dukun bayi. Ia dikenal sakti, keras, dan ditakuti. Tapi waktu Arya kecil, ia pernah diberi segelas jamu hangat oleh perempuan itu—pahit luar biasa, tapi menyelamatkan dari demam tinggi. Meski wajahnya menyeramkan, Nyi Sumirah seperti tahu lebih banyak dari yang ia ucapkan.

Rumahnya berdiri di ujung desa, agak terpisah dari rumah lain, dan dikelilingi pagar kayu rendah yang dicat merah tua—cat yang kini telah mengelupas seperti luka lama yang dibiarkan terbuka. Jendela-jendela rumah itu tertutup rapat. Lampu minyak tergantung di serambi, bergoyang pelan tertiup angin. Aroma dupa samar-samar menyusup ke hidung Arya.

Ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Sekali. Dua kali.

Tiga kali.

Sunyi.

Hanya suara kayu tua yang berderak dari dalam.

Arya menarik napas, bersiap mengetuk lagi, saat pintu itu terbuka perlahan. Bunyinya seperti jeritan panjang dari engsel karatan. Di baliknya berdiri Nyi Sumirah, lebih tua dari yang ia ingat, lebih keriput dari pohon waringin yang tumbuh di halaman belakang. Tapi sorot matanya sama—tajam, menusuk, seolah menembus daging hingga ke tulang.

"Masuklah, Arya," katanya, tanpa senyum.

Ruang utama rumah itu gelap, hanya diterangi satu lilin kecil di atas meja kayu bulat. Dinding dipenuhi rajah dan lukisan-lukisan tua berbingkai emas, kebanyakan bergambar sosok-sosok berjubah hitam dan mata putih yang menatap kosong.

Nyi Sumirah duduk perlahan di kursi goyang, jari-jarinya kurus dan panjang. Di kakinya terletak seekor kucing hitam tua dengan satu mata.

"Kau datang juga akhirnya," gumamnya. "Sudah terlalu lama kau pergi. Tanah ini haus, dan ia menunggumu."

"Apa maksud suratmu, Nyai?" tanya Arya, berusaha menahan rasa tak nyaman yang mulai menyusup seperti asap tipis ke dalam kepalanya.

Nyi Sumirah tidak langsung menjawab. Ia membuka sebuah kotak kecil dari kayu cendana, mengeluarkan gulungan kain hitam yang berbau menyengat.

"Ini warisan keluargamu," katanya lirih. "Tapi bukan harta. Ini... utang darah. Dosa yang kau warisi tanpa tahu."

Arya menatap kain itu—di dalamnya tergulung sebilah keris pendek dengan hulu berbentuk wajah manusia meringis. Mata keris itu… seperti memandang balik ke arahnya.

"Mulai malam ini, kau tidak boleh keluar rumah setelah matahari terbenam," ucap Nyi Sumirah tegas. "Apa pun yang kau dengar, jangan buka pintu. Jangan lihat ke jendela. Dan jangan jawab jika ada yang memanggil namamu."

"Apa—kenapa?"

"Karena malam ini adalah malam pertama dari tujuh malam darah. Waktu di mana mereka yang dikubur tidak benar akan datang menagih balas."

Arya tercekat. "Siapa mereka?"

Nyi Sumirah menatap tajam.

"Leluhurmu."