Cherreads

Chapter 4 - 4. pergi

Rencana pun dijalankan. Para pemilik miracle bersembunyi di tempat masing-masing yang tidak dapat dilihat Arvani.

'Ingatlah ucapanku tadi, wanita lusuh.'

Arvani mengangguk santai, tidak terlalu sakit hati dengan julukan itu. Lagi pula dia memang berpakaian lusuh.

Arvani dan anak laki-laki itu cukup lama menunggu kedatangan kawanan anjing gila. Keduanya tidak ada yang berniat membuka obrolan.

Hal itu cukup wajar karena keduanya baru bertemu hari ini. Mungkin jika Arvani bertemu dengannya lagi besok ia akan menanyakan nama dan alasan anak laki-laki itu bekerja sebagai umpan.

Walau ia bisa menebak alasannya. Uang. Kebanyakan orang yang bekerja sebagai 'umpan' memiliki masalah yang berkaitan dengan uang.

'Bersiaplah.'

Perempuan berambut hitam itu melirik ke arah di mana tatapan Kensei tertuju. Arvani tak langsung lari, ia menunggu matanya melihat secara langsung kawanan anjing gila baru berlari bersama dengan anak laki-laki di sebelahnya.

Di luar dugaan, ternyata kemampuan lari anak laki-laki itu sedikit di atas Arvani. Keduanya berlari secepat mungkin dengan suara gonggong anjing yang makin keras di belakang.

Kehilangan satu mata memang tidak terlalu mempengaruhi Arvani, hanya saja dia harus menoleh ke arah kanan untuk melihat kawanan anjing itu dengan lebih jelas. Detik itu juga Arvani dikejutkan dengan sosok dibelakang kawanan anjing gila.

Zombie!

Dan yang lebih parah, zombie itu bisa berlari kencang. Arvani menatap ke arah Kensei yang ikut berlari di dekatnya.

Kensei yang merasakan tatapan itu hanya tersenyum mengejek. Pria itu sengaja tidak memberitahu tentang zombie tersebut. Kini Arvani tidak punya pilihan lain dan harus mengikuti ucapan Kensei tadi.

"Aku harus memberitahukan yang lain," pikirnya.

Ketika Arvani hendak membuka mulut. Sebuah tangan kekar memegang lehernya dengan aura membunuh.

'Jangan coba-coba merusak suasana.'

Arvani berdecak kesal. Ketika melihat anak laki-laki itu telah sampai di rumah berlantai dua, ia berteriak.

"Tutup pintunya!"

Detik berikutnya Arvani memasuki rumah bercat merah yang di tunjuk Kensei dan mengganjal pintu dengan perabotan berat yang berdebu. Dari balik jendela yang memiliki jeruji besi, Arvani melihat jikalau ada 4 anjing yang berhasil lolos dari jebakan dan juga zombie yang berusaha mendobrak pintu tempat anak laki-laki tadi berada.

"Anak laki-laki itu butuh bantuan," batin Arvani.

Hawa dingin tiba-tiba terasa di lehernya. Perempuan itu menoleh patah-patah ke arah Kensei.

Pria berambut putih itu berbisik pelan di telinga Arvani. Menggoda sekaligus mengancam.

'Lihatlah dengan mata kepalamu sendiri. Mereka akan saling berkhianat.'

Suara teriakan dari luar mengalihkan perhatian Arvani. Ia melihat jika zombie tersebut memecahkan jendela dan membuat 3 ekor anjing gila memasuki rumah.

Teriakan anak laki-laki serta gonggongan anjing gila membuat Arvani tak dapat menahan rasa takutnya hingga jatuh terduduk.

Brak!

Itu suara kayu yang patah. Meski tak bisa melihat langsung Arvani tahu jika zombie tersebut sudah memasuki rumah. Teriakkan anak laki-laki tadi sudah tidak terdengar.

Arvani menutup mulutnya sambil berharap suara denyut jantungnya takkan mengalihkan perhatian zombie.

Dor! Dor! Dor!

Tembakan beruntun terdengar. Kemungkinan besar si sniper sudah berhasil mengurus zombie serta anjing-anjing gila tersebut.

Buk!

Mengandalkan pendengaran, Arvani tahu jika sniper tersebut sudah turun dari lantai dua. Perempuan berambut hitam itu perlahan bangkit ke arah jendela seraya menahan rasa takutnya. Sepertinya dia akan dikeluarkan dari tim.

'Kau pikir hanya ada satu zombie?' suara Kensei kembali terdengar.

Bola mata Arvani membesar ketika melihat sekumpulan zombie datang menyerbu desa dengan ganas. Perempuan berambut hitam itu melompat mundur ketika satu zombie memecahkan kaca rumah tempat ia bersembunyi.

Sniper tadi berusaha menaiki menara kayu tempat rekan-rekannya berada.

"Sial! Apa-apa zombie itu?! Hei ketua kau tidak mengatakan akan ada zombie sebanyak itu?!"

Sniper itu berteriak marah. Kali ini Arvani tidak melakukan tindakan bodoh dengan membuka pintu dan menolong sniper tersebut. Itu sama saja dengan cari mati.

Dengan matanya sendiri Arvani melihat kelompoknya menendang sniper yang hendak memanjat tangga mengakibatkan zombie memakannya hidup-hidup.

"Itu juga yang akan terjadi padamu kalau tadi kau langsung keluar," ujar Kensei.

Para zombie terlihat mengerumuni menara kayu tersebut dengan kelompok pemilik miracle yang berusaha menghabisi mereka.

"Lemah."

Arvani menutup matanya ketika menara kayu sudah rubuh karena dorongan dari ratusan zombie di segala sisi. Ia mengabaikan teriakan orang-orang yang sudah bekerja dengannya selama ini.

Puk!

Kensei menepuk kepala Arvani yang jauh lebih pendek darinya.

"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Memberitahu kota kalau ada serangan zombie atau melarikan diri ke kota lain? Keduanya memiliki konsekuensi tersendiri. Memberitahu kota itu berarti kau harus bisa lolos dari kepungan puluhan zombie di sana, pilihan kedua berarti kau hanya perlu menunggu langit gelap dan pergi sejauh mungkin."

Sepintas ingatan tentang kakek tua penjaga makam muncul dalam kepala Arvani, membuatnya melupakan tentang pengkhianatan barusan.

"Setidaknya aku harus memberitahu Pak tua tentang ini?" Arvani menoleh ke arah Kensei dengan mata berkaca-kaca.

Alis Kensei berkerut. "Pak tua?"

"Dia orang yang sudah mengajariku banyak hal. Dia juga orang yang membantuku memahami bahasa Egarta pada buku tentangmu."

Untung saja Kensei bisa mengontrol ekspresi wajahnya. Jika tidak ia akan tertawa remeh dan membuat Arvani tersinggung.

Jujur, pria itu bahkan tidak peduli akan infomasi yang diberitahukan Arvani barusan. Kensei berpura-pura memasang pose berpikir.

"Jika dia tinggal sendiri di tempat yang jauh dari kerumunan seharusnya dia masih hidup. Tenang saja, begitu zombie memasuki kota, wali kota takkan tinggal diam dan meminta bantuan dari kota lain. Ada kemungkinan pak tua itu bisa bertahan hidup."

"Lagi pula, saat ini kemampuan bertarungmu masih buruk."

Kensei menjentik dahi Arvani pelan.

"Akh!"

"Sekarang beristirahatlah."

Arvani melihat sekeliling. Seluruh perabotan rumah itu sudah dipenuhi debu dan sarang laba-laba, kalau ia membersihkan tempat tidur suara yang dihasilkan bisa menarik perhatian para zombie.

Perempuan itu mengambil bantal dari kamar dan menaruhnya di ruang tamu dengan posisi dibalik. Bukan untuk tidur, dia hanya menjadikan bantal itu sebagai bantalan punggung saja. Siang ini Arvani memutuskan untuk tetap membuka matanya, takut-takut Kensei akan menghilang jika ia tertidur.

Pria berambut putih itu sendiri sedang asik menonton zombie di luar sana dengan wajah tersenyum.

"Psikopat," pikir Arvani.

Matahari sudah tenggelam dan perut Arvani mengeluarkan gemuruh yang untungnya tak dapat didengar oleh para zombie. Perempuan itu tidak keluar melalui pintu depan melainkan pintu belakang.

Kensei menjelaskan jika zombie-zombie itu tipe yang sepenuhnya mengandalkan telinga. Bau busuk yang keluar dari tubuh mereka bola mata yang pucat menandakan mereka tak bisa melihat atau mencium bau manusia.

"Apa sebaiknya kau kembali saja, Kensei?" Tanya Arvani.

"3 mata itu memang lebih bagus dari 2 mata tapi energiku terkuras lebih banyak. Mungkin aku akan memanggilmu ketika ingin istirahat."

Dalam pikirannya Kensei juga menyetujui saran Arvani. Dia pun mengangguk kecil dan berkata.

"Berjalanlah agak jauh dari kereta bawah tanah."

Kota tempat Arvani tinggal bukan kota yang makmur, maka dari itu wali kota takkan repot membeli alat untuk mengusir para monster di sepanjang jalur kereta bawah tanah. Mungkin beliau berpikir jika monster tak bisa menggali tanah. Sungguh pemikiran yang kuno.

More Chapters