Cherreads

Chapter 3 - 3. kota busuk

"Asal kau tahu saja, di kota busuk ini semua fasilitas pemerintah yang harusnya gratis jadi berbayar. Untuk melakukan pemeriksaan miracle aku harus keluar uang kurang lebih sama dengan uang makanku 5 tahun!"

Arvani berdiri dan mulai keluar dari gua. Panas matahari langsung menyinari wajahnya dan membuat perempuan pergi itu menuju sungai terdekat.

'Kalau aku membunuh pemimpin busuk di kota ini apa kau mau membebaskanku?'

"Membebaskan apa? Kau kan sudah mati 100 tahun yang lalu."

'Aku hanya tersegel bukan mati seutuhnya. Jika aku bisa memakan sekitar 100 jiwa atau lebih maka aku akan mendapatkan kembali tubuh manusiaku.'

"Tidak mau. Memang apa yang berubah dariku kalau wali kota mati? Paling-paling pemerintah akan mengirim pengganti yang sama busuknya."

'Aku bisa menjanjikan tempat tinggal yang nyaman, makanan enak, dan lainnya. Kau tahu kan aku ini berasal dari keluarga Igarashi.'

"Memangnya kenapa kalau kau dari keluarga Igarashi?"

'Apa kau tidak tahu tentang 12 keluarga bangsawan agung?'

"Oh, jadi kau termasuk bangsawan agung.'

Melihat reaksi Arvani yang terkesan biasa saja itu membuat Kensei menyadari jika satu-satunya cara membuat perempuan ini mau menyetujui perjanjian adalah dengan menunjukan kekuatannya. Tapi, Kensei tidak tahu cara keluar dari dalam alam bawah sadar Arvani.

Setibanya di sungai dengan aliran air bening, Arvani berjongkok lalu membasuh wajahnya. Ujung matanya melihat beberapa ikan yang asik berenang dalam air.

Arvani pernah melihat di papan iklan jika seseorang bisa melakukan hal luar biasa jika memiliki miracle.

Tangan Arvani terangkat pada kumpulan ikan-ikan tersebut. Ia membayangkan sosok Kensei Igarashi yang dilihatnya tadi malam muncul dan menusuk ikan-ikan tersebut menggunakan pedangnya, dengan begitu Arvani tidak perlu repot mencari makan hari ini.

Byuuur!

Tak disangka, Kensei benar-benar muncul dan menangkap 3 ekor ikan tersebut dengan pedangnya. Pria itu berdiri di dalam air, sorot matanya menatap tajam ke arah Arvani.

"Beraninya kau membuat pedang hebatku menjadi alat penangkap ikan."

"Hii!!" Arvani tersentak ketakutan melihat aura mematikan yang keluar dari tubuh Kensei.

"Ma-maaf! Aku gak tahu kalo kau bakalan muncul beneran."

Detik berikutnya Arvani menyadari jika mata kirinya telah hilang. Menggunakan otaknya, Arvani pun menyimpulkan jika mata kirinya berperan sebagai jaminan atas kemunculan Kensei.

Mungkin jika Kensei mati maka mata kirinya bisa hilang selamanya.

Kensei melemparkan ikan-ikan tadi ke pinggir sungai lalu berjalan mendekati Arvani yang membeku di tempat.

Sring!

Pria berambut putih itu menodongkan pedangnya tepat di leher Arvani.

"Aku penasaran. Jika kau mati di sini apakah jiwaku akan bebas?"

Arvani merasakan sensasi dingin di lehernya. Itu menggelikan.

"Kayaknya enggak. Mungkin," jawabnya tak yakin.

"... Kalau tidak salah kau menanyakan sesuatu padaku tadi malam. Apa itu?"

Bisa jadi harus memberikan jawaban dari pertanyaan Arvani agar bisa bebas. Itulah isi pikiran Kensei. Arvani termenung mengingat kembali kenangan tadi malam.

"Eee ... Makanan macam apa yang kau makan tiap hari? Perlakuan istimewa apa yang kau dapatkan karena menjadi bangsawan? Lalu ... Seempuk apa tempat tidurmu?"

Menyedihkan. Itulah arti dari tatapan yang dilayangkan oleh Kensei pada perempuan dihadapannya ini.

Pria bermata biru itu menghela nafas pendek. "Makanan yang paling sering aku makan dulu itu daging. Bisa daging sapi, rusa, ayam, dan yang paling kusukai daging domba. Untuk perlakuan istimewa ... Mungkin ketika rakyat biasa terpaksa dikeluarkan dari restoran karena aku lupa memesan tempat, lalu aku tidak perlu membungkukkan kepala pada orang yang lebih tua selagi mereka bukan bangsawan. Untuk pertanyaan yang terakhir, mungkin lebih empuk dari tumpukan kain tempatmu tidur."

Kensei menjawab semua pertanyaan itu seraya menatap lekat wajah Arvani yang tidak menampilkan perubahan ekspresi apapun. Perempuan itu tidak kagum, tidak iri, dan juga tidak sedih.

Itu ekspresi mereka yang bosan hidup tapi takut mati. Ekspresi yang biasa Kensei lihat pada para gelandangan.

"Apa kau ingin kehidupan yang lebih baik?"

Kensei tidak benar-benar berniat membantu perempuan dihadapannya ini. Dia hanya ingin kembali pada masa kejayaannya.

"Tentu aku mau, tapi aku sedikit takut. Bagaimana jika aku gagal dan berakhir mendapatkan kekecewaan?"

Kensei memutar bola matanya malas. Orang-orang dengan semangat hidup rendah seperti inilah yang membuatnya bosan.

"Setidaknya kau sudah berusaha bukan? Dari pada mati di tempat menjijikan ini lebih baik kau keluar dan melihat dunia."

Ada sedikit cahaya yang kembali pada mata hitam Arvani. Perempuan itu menatap Kensei dan bertanya.

"Apa daging domba itu enak?"

Melihat semangat di mata Arvani membuat Kensei tanpa sadar tersenyum kecil.

"Sangat enak."

.

.

.

Rencana pertama adalah mengumpulkan uang. Bukan untuk melakukan pemeriksaan miracle tapi untuk keluar dari kota ini. Kensei awalnya menyarankan untuk berburu monster sembari berjalan kaki menuju kota terdekat yang tentu saran itu ditolak tegas oleh Arvani.

Kota terdekat itu berjarak 5 kilometer di tambah lagi Arvani tidak bisa melawan monster.

Siang ini Arvani berjalan menuju gerbang uang terbuat dari kayu dengan Kensei yang berdiri di dekatnya dalam mode menghilang. Mengetahui gerbang yang terbuat dari kayu usang membuat Kensei tertawa kering.

'Tempat ini akan hancur begitu angin topan terjadi.'

Arvani mengabaikan hal itu dan berjalan menuju kelompok pemilik miracle ahli yang kerap berburu monster untuk diambil kristal, daging, kulit, tulang, atau bahkan organ-organ monster. Semua itu bisa dijual.

Beberapa dijadikan makanan atau ramuan, ada juga yang dijadikan hiasan, serta yang paling parah adalah racun.

"Yo, Arvani. Kenapa matamu?"

"Aku jual," jawab Arvani asal.

Tawa pun keluar dari beberapa anggota kelompok.

"Apa kau yakin bisa menjadi umpan yang bagus hanya dengan mata satu? Kalo mati aku tidak akan membayar asuransimu loh."

Arvani mengangkat kedua bahunya santai. "Kalo aku mati buang saja jasatku di hutan. Lumayan buat makanan para hewan."

"Hahaha."

Ketua kelompok pun mulai menjelaskan perburuan kali ini. Mereka akan berburu di sebuah desa mati yang berlokasi agak jauh dari tembok. Para warga desa tersebut awalnya adalah sekelompok tunawisma yang berniat membangun desa sendiri. Sayangnya mereka tidak memiliki dana untuk membangun tembok dan begitu segerombol monster datang, tak ada satupun warga desa yang berhasil selamat.

Lalu, monster yang jadi buruan adalah kawanan anjing gila.

Mereka adalah jenis monster yang cepat dan berkelompok.

Rencananya adalah Arvani dan seorang anak laki-laki lain yang menjadi umpan akan menunggu di dekat pintu masuk desa. Begitu kawanan anjing gila datang mereka akan berlari menuju balai desa secepat mungkin. Di balai desa, pada bangunan bergaya rumah joglo di pasang jebakan yang akan mengikat para anjing gila ke atas jika mereka melewati jebakan.

Tentunya ada kemungkinan anjing gila yang lolos, maka dari itu Arvani dan anak laki-laki tadi harus tetap berlari sampai ke bangunan tingkat dua. Mereka harus menutup pintu karena di atap sudah ada pemilik miracle tipe sniper yang berjaga.

'Rencana yang penuh celah.' Kensei memberitahu.

'Jika ada anjing gila yang lepas jangan berlari ke rumah lantai dua itu tapi berlarilah ke rumah dengan berwarna merah di sebelahnya. Berpura-puralah tersandung sesuatu agar anak laki-laki itu lari lebih dulu.'

Dahi Arvani berkerut. Dia menatap Kensei dengan pandangan curiga.

'Kenapa begitu?'

'Sudah, ikuti saja ucapanku.'

More Chapters