Cherreads

Dead or Continue

Ashura_1902
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Dunia berakhir bukan dengan ledakan, melainkan dengan jeritan. Virus Green Atomia, disebut juga GA-Virus. Muncul tiba-tiba di Berlin dan Jakarta Timur. Dalam hitungan jam, orang-orang kejang-kejang, membenturkan kepala mereka ke dinding, telinga mereka berdenging memekakkan, dan tubuh mereka diliputi darah. Mereka kehilangan penglihatan, namun pendengaran mereka berubah menjadi alat perburuan mematikan. Virus ini tidak butuh waktu berminggu-minggu untuk menyebar. Hanya satu hari. Satu hari cukup untuk menggulingkan peradaban manusia. Izagiri Amselman hanyalah seorang anak biasa ketika dunia menghilang di depan matanya. Ia kehilangan orang tuanya, rumahnya, dan seluruh alasan untuk berharap. Kini, ia berjalan seorang diri melewati puing-puing dunia, menuju satu tempat yang konon masih selamat: kota Antioch. Dalam perjalanan itulah, di antara kota dan hutan yang mulai ditelan kabut virus, Izagiri bertemu dengan seorang gadis misterius bernama Feona Leonhart. Sama-sama kehilangan, sama-sama terluka, mereka memutuskan untuk berjalan bersama, berbagi makanan, bahaya, dan harapan tipis di tengah dunia yang sudah runtuh. Sepuluh tahun berlalu. Mereka tumbuh, bertahan, dan akhirnya bergabung dengan Great Cleansing Organization, sebuah organisasi yang berdiri di tengah kekacauan untuk satu tujuan: melawan balik. Tidak hanya terhadap para zombie buta yang disebut Dread, tapi juga melawan makhluk-makhluk mengerikan yang disebut Anomalies, hasil mutasi dari virus yang sudah melampaui batas alam. Senjata biasa tidak mempan. Mereka harus merakit ulang teknologi, memadukannya dengan kekuatan magis, dan mempercayakan hidup mereka pada persenjataan yang tidak pernah diuji. Feona menjadi pembunuh, sementara Izagiri menjadi pemburu garis depan yang ditakuti. Kini, mereka menjalankan misi-misi berbahaya demi persediaan, wilayah, dan kebenaran. Tapi di balik itu semua, pertanyaannya tetap sama: Apakah mereka berjuang untuk umat manusia... atau hanya untuk bertahan hidup ?
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

Hujan turun dengan aroma logam yang menusuk, membasahi jalanan retak Jakarta Timur. Kabut berwarna kehijauan menggantung rendah di udara, kabut yang tidak membawa dingin, melainkan kematian.

Langit mendung, seolah dunia sudah tahu bahwa malam ini, segalanya akan berubah.

Di trotoar yang sunyi, seorang pria bersetelan kerja tiba-tiba berhenti melangkah. Tubuhnya berguncang. Jemarinya mencakar wajah sendiri, matanya membelalak penuh darah, dan raungan tak manusiawi keluar dari tenggorokannya.

Lalu terdengar bunyi, “Duk! Duk! Duk!”

Kepalanya menghantam tiang listrik berkali-kali, darah menyembur dari pelipis. Orang-orang di sekitarnya menjerit, berusaha menolong. Tapi pria itu tak bisa diselamatkan. Matanya membutakan diri sendiri, namun telinganya... menggeliat. Seolah mencari suara, merespon bisikan sekecil apa pun.

Tak sampai lima menit, lebih banyak yang tersungkur. Mulut mereka mengeluarkan busa hijau. Tubuh mereka melengkung ke belakang secara tidak wajar, seperti dipatahkan oleh tangan tak terlihat. Virus Green Atomia telah menyebar.

Dan dalam waktu satu hari, dunia menjadi kuburan terbuka.

Berlin hancur. Jakarta Timur tenggelam dalam darah. Kota-kota besar sunyi. Mereka yang terinfeksi menjadi makhluk buta, namun mampu mendengar helaan nafas dari dua blok jauhnya. Mereka berburu suara. Bahkan detak jantung bisa memancing kematian.

Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki bernama Izagiri Amselman bersembunyi di balik meja makan kayu tua. Tangannya menutupi mulut dan hidung rapat-rapat, tubuhnya menggigil. Di luar, langkah-langkah terseret terdengar... mendekat... mendekat...

Makhluk itu melintas. Kepalanya tanpa mata, wajahnya rusak, dan telinganya bergerak seperti kelinci liar mendengar suara. Terdengar suara jeritan remaja dari arah lain.

Lalu, senyap.

Bunyi tulang patah dan daging dikoyak menggantikan suara manusia.

Izagiri tak menangis. Ia sudah tidak bisa.

Orang tuanya hilang. Rumahnya hancur. Dan di luar sana, dunia sudah tidak lagi layak disebut hidup.

Namun dia tahu satu hal. Ia tidak akan mati di sini.

Kemudian, Izagiri melesat keluar dari tempat persembunyiannya. Hujan yang mengguyur deras malam itu menjadi sekutunya, setiap tetesan air yang menghantam tanah dan atap bangunan menjadi simfoni kacau yang menenggelamkan langkah kakinya. Petir menyambar langit, dan suara gemuruh hujan menggulung seperti drum kematian, menutupi suara napas dan detakan jantung yang panik.

Ia berlari sekuat tenaga, menembus genangan air, menyeberangi jalan yang dipenuhi mayat membusuk dan kendaraan terbakar. Setiap langkahnya membawa risiko, namun juga harapan. Selama hujan ini terus turun, selama suara hujan terus mendominasi dunia yang sunyi ini, ia punya peluang.

Kakinya membawanya menuju sebuah reruntuhan tua, menara komunikasi yang telah runtuh sejak awal penyebaran virus. Besi-besi berkarat menjulang dari puing seperti jari-jari makhluk mati, namun bagi Izagiri, tempat itu adalah perlindungan sementara. Ia menyelinap masuk, menyembunyikan diri di balik lempengan beton yang tumbang, napasnya tersengal namun terkendali.

Ia tak berani menangis. Ia hanya bisa menggertakkan gigi, memandangi hujan dari celah reruntuhan.

Di kejauhan, suara makhluk itu masih terdengar samar, terombang-ambing di tengah badai, mencari sesuatu. Tapi kali ini, mereka tidak bisa mendengar Izagiri.

Untuk pertama kalinya sejak dunia berakhir, ia merasa selangkah lebih jauh dari kematian.

Izagiri duduk bersandar pada dinding beton yang dingin, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan udara malam yang menggigit. Sisa hujan masih menetes dari langit-langit yang bocor, menciptakan irama pelan yang menenangkan namun juga mengingatkan akan kehancuran di luar sana. Sesekali, matanya terpejam, terhanyut oleh rasa kantuk yang datang seperti ombak tenang setelah badai. Tapi tidurnya selalu ringan—sebuah suara kecil saja bisa menyentaknya kembali ke dunia yang tak mengenal damai.

Dan itulah yang terjadi.

Sebuah langkah—lembut, tapi cukup untuk memicu seluruh insting bertahan hidupnya. Tubuhnya menegang. Ia langsung meraih besi karat di sampingnya, menempelkan tubuh ke dinding, dan berdiri di balik pintu tua yang masih bertahan di reruntuhan menara itu.

Ia tahu suara itu. Bukan suara Dread—nama yang diberikan orang-orang pada makhluk yang dulunya manusia. Atau sebutan lain mereka: Living Corpse, makhluk tanpa mata, tapi dengan pendengaran yang bisa menembus badai. Izagiri kini berada di kota yang dulunya bernama Potsdam, ibu kota Brandenburg yang dulu indah, sekarang menjadi ladang sunyi yang penuh bisikan kematian.

Ia menunggu. Nafas ditahan. Tangan menggenggam erat senjatanya.

Saat pintu terbuka perlahan, ia bersiap menyergap.

Tapi yang muncul justru bukan Dread. Bukan monster.

Melainkan seorang gadis—berambut pirang acak-acakan, wajahnya penuh debu dan luka, memegang sebilah pisau yang lebih tampak seperti alat bertahan diri terakhir daripada senjata. Matanya melebar ketakutan, namun tubuhnya tetap memaksa masuk, seolah tak ada pilihan lain.

"Kau siapa?!" serunya, mencoba terlihat berani meski suaranya bergetar.

Namun sebelum sempat menarik napas kedua, Izagiri melompat dan menutup mulutnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memberi isyarat diam.

"Ssttt... Kau bisa memancing mereka, bodoh!" bisiknya tajam, penuh ketegangan.

Gadis itu terdiam, matanya membelalak tapi tak melawan. Izagiri melepas tangannya perlahan, memastikan ia tak berteriak. Begitu suara di luar tetap tenang, Izagiri segera menutup pintu rapat dan menyeret sebuah tong logam besar ke depan pintu sebagai pengganjal.

Suasana kembali sunyi, hanya napas mereka berdua yang terdengar di antara puing dan bayangan tembok yang remuk.

Mereka saling menatap dalam diam, dua jiwa asing yang dipertemukan oleh dunia yang telah hancur, dan oleh kenyataan bahwa malam ini, mereka berdua hanya ingin... tetap hidup.

Tiba-tiba, suara gemuruh mengguncang langit. Petir menyambar, menerangi puing-puing kota dengan kilatan singkat yang memperlihatkan bayangan-bayangan menyeramkan di balik reruntuhan. Suara itu diikuti oleh dentuman kaca pecah, keras dan mengejutkan. Sebuah kepala menerobos jendela pecah di lantai atas menara tempat mereka berlindung.

Kepala itu bukan milik manusia.

Kulitnya mengelupas, tulang rahangnya tampak terbuka, dan dari mulutnya menetes cairan kental berwarna hitam kehijauan. Bola matanya kosong, menghitam, namun tak benar-benar melihat. Dread.

Izagiri langsung menarik sang gadis ke bawah puing beton, tepat di bawah celah di mana kepala makhluk itu muncul. Tubuh mereka membeku, napas ditahan, tubuh menempel erat ke lantai dingin.

Dread itu tidak masuk. Belum. Tapi ia mulai mengendus, gerakan kepalanya gelisah, berputar ke kiri dan kanan. Suaranya bukan raungan, melainkan semacam dengusan kasar yang menyerupai erangan panjang, serak, dan mengerikan, seperti makhluk yang kesakitan dan marah dalam waktu bersamaan. Ia mencoba mendengar. Mencari.

Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan suara geraman pelan yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Gerakannya pelan, tapi setiap detik keberadaannya membuat waktu seolah berjalan sangat lambat.

Izagiri melirik ke samping, melihat gadis itu masih berusaha menahan isak dan ketakutannya. Ia bisa melihat bagaimana tubuhnya gemetar hebat. Dengan cepat namun halus, Izagiri meraih pisau yang sebelumnya dipegang gadis itu, lalu mengacungkan satu jari ke depan bibirnya, tetap diam.

Pisau itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kekuatan Dread, tapi setidaknya... ia akan bertarung, jika terpaksa. Atau mati bersamanya.

Waktu berlalu, detik demi detik terasa seperti siksaan. Dread itu masih menggantung di jendela, masih mencium udara dan menggeram kecil. Suasana menegang, seolah hanya satu batuk atau helaan napas terlalu dalam akan menjadi undangan maut.

Lalu, tiba-tiba.....kraakk kraaak! suara gagak terbang dari kejauhan, sayapnya mengepak liar, suaranya menggema di antara gedung-gedung rusak.

Kepala Dread langsung menoleh cepat, telinganya menangkap suara itu. Gerakannya menjadi agresif, dan dalam sekejap ia meloncat turun, mengejar arah suara burung itu, menghilang dalam kabut hujan dan reruntuhan.

Hening.

Izagiri tetap menunggu beberapa detik sebelum berani menghela napas. Gadis itu menutup mulutnya, masih terisak tertahan. Keduanya akhirnya jatuh terduduk di lantai dingin, berusaha menenangkan diri.

Dalam hening yang masih terasa menegangkan, Izagiri menoleh perlahan ke arah gadis di sampingnya. Wajahnya masih pucat, napasnya belum sepenuhnya stabil. Suaranya nyaris seperti bisikan ketika ia bertanya, menjaga nada suaranya tetap rendah agar tidak menarik perhatian apa pun di luar sana.

“Namamu siapa?” tanyanya pelan.

Gadis itu menatapnya sesaat, ragu-ragu. Matanya menunjukkan bekas air mata yang belum mengering.

“…Feona,” jawabnya akhirnya. “Feona Leonhart.”

Izagiri mengangguk kecil. Nama itu terpatri dalam pikirannya, meski situasinya belum memberi ruang untuk mengingat banyak hal.

“Usiamu?” tanyanya lagi, masih dengan nada ringan.

Feona menatap kosong ke lantai sebelum menjawab pelan, “…sebelas tahun.”

Izagiri terdiam sebentar. Kemudian alisnya terangkat dan dia bergumam dengan nada yang sedikit heran.

“Lah, lebih tua kamu ternyata,” ucapnya dengan ekspresi datar, entah bercanda atau tidak.

Feona tidak menjawab. Tatapannya kembali kosong, seperti jiwanya masih tertinggal di antara teriakan, darah, dan suara kaca pecah beberapa menit lalu. Dia terlihat begitu rapuh, seperti bunga yang layu diterpa badai yang terlalu besar.

Izagiri tidak memaksanya untuk bicara. Ia tahu rasanya kehilangan—kehilangan segalanya. Ia menarik napas pelan dan berkata dengan tenang, memperkenalkan dirinya dengan suara yang hampir seperti gumaman.

“Aku Izagiri Amselman. Sepuluh tahun.”

Tak ada tawa. Tak ada senyuman. Hanya dua anak kecil di tengah reruntuhan dunia, mencoba bertahan dari kehancuran yang terlalu besar untuk usia mereka.

Izagiri perlahan berdiri, mengangkat tubuhnya dari lantai yang dingin dan berdebu. Ia melangkah pelan menuju celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup, membiarkan matanya menembus kegelapan malam.

Mata birunya yang tajam menatap lurus ke luar, menyapu sisa-sisa kabut dan hujan yang menetes pelan dari langit. Angin membawa aroma besi dan tanah basah, tapi tidak ada suara langkah—tidak ada erangan. Hanya hening yang pekat, menekan.

Rambut hitamnya basah, menyatu dengan bayangan yang menyelimuti bagian dalam menara, menjadikannya hampir tak terlihat jika bukan karena cahaya kilat sesekali yang menerpa wajahnya. Kontras antara malam dan sorot matanya terlihat mencolok, seolah hanya itu yang hidup di antara puing dan kehancuran.

“Sepertinya aman,” ucap Izagiri pelan, masih menatap ke luar. “Ingin pergi?”

Feona, yang duduk bersandar pada dinding, menoleh ke arah suara itu. Tubuhnya sudah sedikit lebih tenang, meski tatapannya masih waspada. Ia ikut berdiri dan berjalan pelan ke sisi Izagiri, mendongak sedikit karena tubuhnya memang sedikit lebih tinggi darinya.

Ia ikut menatap ke luar, diam sesaat, lalu mengangguk ringan.

“Hmm… sepertinya aman,” bisiknya, seolah takut jika suaranya terlalu keras akan mengundang bahaya lagi.

Mereka berdiri berdampingan, hanya sepasang anak kecil yang terlalu cepat tumbuh dalam dunia yang telah berubah menjadi neraka. Tapi di tengah ketakutan itu, ada satu hal yang mulai tumbuh perlahan, kepercayaan.

Langkah kaki kecil mereka menyusuri jalanan yang basah, meninggalkan menara tua yang sempat menjadi tempat persembunyian. Jalan raya tampak kosong, ditinggalkan begitu saja oleh dunia yang runtuh. Pepohonan di pinggir jalan bergoyang pelan ditiup angin, dan langit malam masih menggantung muram di atas kepala mereka.

Izagiri memilih berjalan di tengah jalan. Di sana lebih terbuka, memungkinkan mereka melihat dari jauh jika ada sesuatu yang mendekat, dan lebih mudah untuk kabur jika keadaan memaksa. Feona mengikutinya dari samping, memeluk pisau kecilnya dengan erat—seolah itu satu-satunya yang bisa ia percaya selain bocah lelaki yang baru dikenalnya.

Mereka berjalan beberapa meter, hingga Izagiri tiba-tiba berhenti. Matanya menatap lurus ke satu sisi trotoar, ke arah sebuah halaman yang kini berantakan. Balon-balon hancur, pita warna-warni penuh lumpur, dan meja yang terbalik. Ada bekas kue ulang tahun yang telah hancur tercampur darah, dan mainan anak-anak yang berserakan—semuanya berlumuran jejak kekacauan.

Itu dulunya adalah pesta ulang tahun.

Feona ikut berhenti, memperhatikan tempat itu. “Ada apa?” tanyanya pelan, mendekat.

Izagiri tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pemandangan itu dengan mata kosong, lalu menghela napas panjang, seolah menahan sesuatu dalam dadanya.

“…Hari ini juga ulang tahunku,” gumamnya, lirih. “Tapi ternyata, di hari yang seharusnya bahagia ini, aku harus kehilangan juga.”

Tidak ada yang bisa dikatakan Feona. Tak ada kata-kata yang cukup untuk menjawab hal semacam itu. Ia hanya diam, memandangi sisa pesta yang berubah menjadi mimpi buruk. Kemudian, ia melihat punggung Izagiri yang mulai menjauh, berjalan kembali tanpa menoleh.

Sesaat kemudian, Feona kembali melangkah, mengejar sosok itu dalam diam. Meninggalkan pesta ulang tahun yang tak pernah selesai.

Langit mulai memudar, berganti warna menjadi kelabu gelap yang mengisyaratkan malam yang benar-benar jatuh. Izagiri dan Feona berjalan lebih pelan kini, menyusuri tepi jalan hingga akhirnya pandangan mereka terbuka ke sebuah padang rumput luas yang terbentang liar di depan sana. Rumputnya tinggi dan bergoyang tertiup angin, seperti lautan hijau yang tak bertepi.

Namun, baru beberapa langkah sebelum melintasinya, Izagiri mendadak berhenti dan menarik tangan Feona dengan kasar, menyeretnya ke balik semak dan reruntuhan mobil yang tertinggal di pinggir jalan.

“Apa yang kau—!?” Feona hampir saja bersuara lantang, tapi Izagiri menekapkan jari ke bibirnya dengan wajah serius, memaksanya diam.

Feona menoleh ke arah pandangan Izagiri.

Di sana, di tengah padang rumput, bergerak lambat namun penuh ancaman, puluhan sosok mengerikan tampak berjalan terseok. Tubuh-tubuh mereka sudah membusuk, penuh luka terbuka dan darah kering, namun mereka tetap hidup. Atau lebih tepatnya… masih bergerak. Dread.

Namun satu makhluk mencuri perhatian Izagiri sepenuhnya. Jauh lebih besar dari yang lain, berjalan merangkak dengan keempat anggota tubuh seperti binatang buas, dan yang paling mencolok, makhluk itu memiliki dua kepala yang saling menyeringai ke arah berlawanan. Satu kepala seperti manusia yang meleleh, dan yang satunya menyerupai binatang buas bertaring panjang. Gerakannya kasar, dan setiap ia lewat, Dread-Dread lain tampak memberi jalan.

“Anomalies…?” bisik Izagiri lirih, penuh tekanan.

Ia pernah mendengar desas-desus lewat radio rusak yang kadang masih menangkap siaran. Bahwa ada makhluk lain selain Dread. Makhluk yang tak bisa disebut lagi sebagai zombie—mereka adalah hasil mutasi virus GA-Virus dalam bentuk paling ekstrem. Mereka menyebutnya: Anomalies.

Satu hal yang membuat mereka sangat berbahaya adalah... suara frekuensi tinggi, satu-satunya alat pertahanan melawan Dread, tak selalu berhasil melawan Anomalies. Mereka berkembang. Mereka beradaptasi. Dan tidak semua dari mereka bisa dilawan, bahkan oleh para tentara atau penyintas veteran.

Izagiri menggenggam lengan Feona erat, tubuhnya menegang. Mereka hanya bisa diam, menunggu makhluk-makhluk itu lewat. Karena jika satu saja dari mereka menyadari keberadaan mereka...

Malam ini bisa menjadi malam terakhir.