Cherreads

Chapter 3 - Chapter 3

Dua Belas Tahun Kemudian

Tahun: 2022

Tempat Misi Saat Ini: Serbia

Dunia sudah berubah, lebih parah, lebih sunyi, dan lebih gelap. Tapi dua nama tetap bertahan dari semua neraka yang pernah mereka hadapi: Izagiri Amselman dan Feona Leonhart.

Izagiri Amselman

Usia: 22 Tahun

Tinggi: 186 cm

Berat: 91 kg

Ciri khas: Dingin, tak banyak bicara, namun selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tubuhnya penuh luka lama, tapi matanya tetap tajam seperti saat berusia sepuluh tahun.

Feona Leonhart

Usia: 23 Tahun

Tinggi: 160 cm

Berat: 51,3 kg

Ciri khas: Tegas dan penuh semangat, tak pernah bisa diam jika melihat ketidakadilan. Kerap kali menjadi penyeimbang bagi Izagiri, dan satu-satunya orang yang mampu menertawakannya di saat-saat tergelap.

Setelah tragedi di Potsdam, mereka diselamatkan oleh kelompok misterius saat berteduh di bawah mobil kontainer usang, kedinginan dan hampir kehilangan kesadaran. Tapi kelompok itu bukanlah militer atau aparat negara. Mereka adalah bagian dari organisasi rahasia yang bergerak di luar hukum dan politik, Great Cleansing Organization, atau G.C.O.

G.C.O. bukan organisasi biasa. Mereka tidak otoriter, tidak menuntut sumpah mati, dan tidak memaksa siapa pun. Namun mereka punya satu tujuan utama: menghentikan wabah global ini dengan caranya sendiri, meski itu berarti harus menentang pemerintahan atau organisasi lain. Di dalamnya, orang-orang yang sudah kehilangan segalanya diberi satu hal yang tak ternilai, kesempatan.

Misi kali ini: Serbia, pada reruntuhan kota yang dulu hidup.

Target mereka: mengambil sampel dari Anomalies jenis baru yang memiliki mutasi berbeda dan jauh lebih cerdas. Sampel ini dibutuhkan untuk mengembangkan penawar atau mungkin... senjata.

Setelah tujuh tahun pengabdian, Izagiri dan Feona telah menjadi operatif kelas atas. Mereka sudah menjalani puluhan misi berbahaya, dan nyaris kehilangan nyawa lebih dari yang bisa dihitung. Tapi kini, rasa takut sudah mati. Yang tersisa hanyalah naluri bertahan dan tawa pahit yang muncul di tengah kobaran api atau darah.

Di dalam hutan beku Serbia yang sunyi, Izagiri duduk memeriksa perlengkapannya. Feona, tak jauh darinya, sedang memantau peta digital dan mengatur jalur pelarian jika terjadi situasi darurat.

“Target muncul dalam waktu dua jam,” ujar Feona tanpa menoleh.

Izagiri hanya mengangguk, lalu berkata dengan suara berat, “Kalau dia mutasi baru, jangan terlalu dekat. Aku tak mau kamu jadi eksperimen berikutnya.”

Feona mendengus pelan. “Yah, siapa tahu aku jadi lebih cantik setelah mutasi?”

Izagiri meliriknya dan mengangkat alis. “Kamu sudah cukup cantik... untuk zombie.”

Feona menatapnya tajam, lalu melemparkan sarung tangannya ke wajah Izagiri. Mereka tertawa kecil, satu-satunya tawa di dunia yang sudah terlalu lelah untuk tertawa.

Tapi mereka tahu, tawa itu sebentar lagi akan tergantikan oleh suara tembakan, raungan Anomalies, dan mungkin... kematian. Tapi itu bukan hal baru.

Bagi mereka, dunia ini memang neraka. Tapi neraka ini sudah menjadi rumah.

Dan mereka, Izagiri dan Feona adalah dua iblis kecil yang tumbuh untuk bertarung di dalamnya.

Dan misi ini... hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.

Izagiri kemudian menggendong Feona dengan satu tangan, seolah tubuh mungil gadis itu tak seberapa beratnya. Feona langsung membelalak, terkejut.

"A-Apa yang kau lakukan, dasar idiot! Turunkan aku!" serunya sambil meronta.

Izagiri hanya tertawa kecil. “Hahaha, dulu tubuhku kecil, dan kau selalu pamer karena ‘tua’ satu tahunanmu itu.” Nada suaranya menggoda, penuh kenangan masa lalu.

Feona memukul pelan kepala Izagiri dengan kepalan kecilnya, tapi tak bisa menyembunyikan rona merah yang mulai mewarnai pipinya. Namun di sela gerutunya, ia memerhatikan lagi... tubuh Izagiri kini jauh berbeda dari bocah dulu yang selalu membuatnya sebal.

Dia sekarang tinggi menjulang, bahunya lebar, otot-ototnya terbentuk jelas di balik pakaian taktisnya. Sekilas, Feona seperti baru menyadari... bocah songong itu sudah tumbuh menjadi pria yang bisa diandalkan.

"Aku serius, Izagiri. Turunin..." ucap Feona, suaranya melembut, tak sekeras sebelumnya.

Tapi Izagiri hanya tersenyum. "Dulu aku yang kau lindungi... sekarang giliranku. Lagipula, kau cebol."

"Hei!" protes Feona.

Namun dia tak benar-benar marah. Karena meski tubuh dan sikap Izagiri berubah... satu hal tetap sama, senyuman itu. Senyuman yang hanya muncul saat bersamanya. Dulu ceria, sekarang lebih jarang, tapi tetap hangat dan tulus. Seolah hanya Feona yang bisa memantik cahaya itu di dalam dirinya.

Dan di tengah dinginnya reruntuhan Serbia, dua orang yang tumbuh bersama neraka itu... masih saling menjaga, masih saling mempercayai.

Mereka tertawa pelan. Meski dunia sudah hancur, mereka masih bisa berbagi momen kecil seperti ini. Dan itulah alasan mereka terus bertahan.

Langkah mereka berderap pelan melewati tumpukan mayat tentara yang pernah satu bendera dengan mereka. Sisa-sisa pertempuran masih hangat, darah masih mengalir dari luka yang belum kering, dan senjata-senjata yang kini diam di tangan-tangan kaku itu pernah digunakan untuk melindungi dunia.

"Sepertinya kita harus segera pergi, sebelum mereka bangkit menjadi Dread," ucap Izagiri sambil menatap mayat-mayat itu dengan mata tajam namun penuh duka.

Feona tak menjawab dengan kata. Ia hanya mengencangkan senjatanya, suara mekanisme senjata yang mengunci terasa nyaring di tengah kesunyian. Ia mengangguk dan mulai melangkah perlahan, menyusuri jalan yang membawa mereka semakin dalam ke inti kota yang sunyi namun mengintai.

Dread.

Itulah nama yang mereka berikan pada awal dari neraka ini. Mereka bukan hanya mayat hidup seperti dalam kisah-kisah horor klasik. Dread adalah entitas hasil kegagalan biologis yang menyatu dengan virus mutasi buatan manusia. Mereka bukan hanya berjalan tanpa arah. Mereka berkembang. Mereka belajar.

Dan dari Dread, lahirlah sesuatu yang lebih mengerikan, Anomalies.

Makhluk-makhluk yang telah berevolusi jauh dari bentuk manusia, menembus batas mutasi alam, menjadi predator sempurna. Cerdas, cepat, brutal. Mereka membunuh bukan hanya karena lapar, tapi karena naluri mereka memerintahkannya.

Izagiri dan Feona tahu benar bahwa setiap detik mereka berada di kota ini, adalah pertaruhan hidup dan mati. Tapi mereka tak mundur. Mereka sudah terlalu dalam untuk kembali. Terlalu banyak darah yang telah tumpah. Terlalu banyak nama yang telah mereka ukir dalam ingatan.

Kini, yang tersisa hanya mereka berdua dan satu tujuan: Mengambil sampel mutasi terbaru, dan kembali. Jika bisa.

Dalam senyap yang menggantung, langkah-langkah Izagiri dan Feona terus menyusuri lorong puing kota yang tertelan waktu. Tak satu pun dari mereka berbicara, mereka tahu, satu denting saja bisa membangunkan mimpi buruk.

Dread dan Anomalies, dua makhluk yang menjadi simbol kehancuran dunia, memiliki satu kelemahan: suara. Mereka buta, namun telinga mereka bisa mendengar detak jantung manusia dari jarak ratusan meter. Beberapa Anomalies berevolusi lebih jauh, mampu melihat dalam kegelapan, namun tetap… suara adalah undangan bagi kematian.

Frekuensi tinggi telah digunakan selama bertahun-tahun efektif untuk membuat Dread lumpuh sesaat. Tapi Anomalies? Mereka tak semudah itu ditaklukkan. Banyak dari mereka justru merespons suara sebagai pemicu agresi, menjadikannya pemicu pembantaian yang lebih brutal.

Maka G.C.O, organisasi yang menyelamatkan Izagiri dan Feona, mengambil langkah radikal: menggabungkan teknologi dan warisan kuno, sihir.

Bukan sihir ala dongeng atau legenda, tapi bentuk energi dasar yang telah lama disegel oleh peradaban manusia, kini diolah dengan presisi ilmiah. Sihir yang dipadatkan dalam inti energi, dipasangkan dengan mesiu, menciptakan peluru dengan efek penetralisir, disruptor saraf, hingga penekanan mutasi.

Dan dari perpaduan itulah, lahir senjata yang menjadi ikon zaman ini:

“Arbitrator Hope” Senjata para Arbiter, penentu harapan umat manusia.

Setiap unit Arbitrator Hope telah dimodifikasi dengan sistem peredam suara mutakhir, memungkinkan penggunanya bergerak senyap. Tapi yang lebih penting adalah esensinya:

Senjata ini bukan sekadar alat perang, tapi simbol pilihan.

Apakah akan digunakan untuk melindungi yang tak bersalah, atau membantai sesama demi bertahan?

Izagiri menyandang senjatanya di bahu, sambil menatap lensa sihir biru redup di sisi laras.

Feona menatapnya dari samping, menyadari bahwa dunia ini telah menciptakan mereka bukan hanya sebagai pejuang, tapi juga hakim.

Dan di hadapan mereka, misi di kota Serbia bukan hanya untuk membawa pulang sampel…

Tapi juga untuk membuktikan apakah harapan itu masih layak diperjuangkan?

Setelan rompi militer G.C.O bukan sekadar pelindung tubuh—itu adalah hasil rekayasa teknologi dan sihir yang dipadukan untuk melindungi para Arbiter dalam neraka dunia ini.

Rompi generasi keempat yang kini dikenakan para prajurit G.C.O dilengkapi dengan fitur disrupsi bio-akustik, yaitu sebuah sistem penetralisir suara internal tubuh:

– Detak jantung

– Aliran darah

– Napas berat

– Semua dimanipulasi melalui ilusi frekuensi tinggi yang hanya bisa diproses oleh makhluk seperti Dread dan Anomalies.

Bagi manusia biasa, suara itu tak terdengar, tapi bagi mereka—itu seakan tubuh prajurit telah hilang dari eksistensi pendengaran.

Langkah preventif ini diciptakan bukan hanya untuk kesuksesan misi, tapi sebagai penghormatan terhadap nyawa prajurit, bahkan dalam kegagalan. Karena G.C.O tak menganggap prajurit sebagai pion, tapi sebagai harapan umat manusia yang masih tersisa.

Dan kini, dari sepuluh orang yang memulai misi di Serbia, hanya dua yang tersisa.

Kapten Izagiri Amselman, atau lebih dikenal oleh dunia bawah sebagai Reaper.

Pria muda dengan tinggi 186 cm, membawa aura tenang namun berbahaya. Di medan perang, dia bukan hanya penembak jitu atau pemimpin taktis. Dia adalah pemusnah. Tercatat dalam misi sebelumnya, dia pernah membantai 87 Dread dengan tangan kosong dalam satu malam. Leher yang terpelintir, tulang yang dihancurkan, semua tanpa suara. Tanpa ampun.

Legenda menyebut bahwa dia memiliki kekuatan fisik yang tidak normal, dan beberapa bahkan percaya dia adalah hasil eksperimen pertama yang berhasil antara manusia dan sihir.

Feona Leonhart, sang Silent Killer.

Tubuh ramping, cepat, dan senyap. Jika Izagiri adalah badai di siang hari, Feona adalah bayangan di malam kelam. Dia membunuh sebelum target menyadari kehadirannya. Berbekal senapan Arbitrator Hope yang dimodifikasi untuk pertempuran jarak dekat dan belati kecil yang mengandung runa penghancur jaringan, Feona menjadi mimpi buruk bagi siapapun yang lengah.

Dan kini, dua sosok ini melangkah kembali ke inti kota Serbia.

Tak hanya membawa beban misi, tapi juga kemarahan dari rekan-rekan yang telah gugur, serta keyakinan mereka bahwa selama mereka masih bernapas, tidak ada satu pun makhluk kegelapan yang berhak mendominasi dunia.

Di antara reruntuhan kota yang sunyi dan penuh aroma kematian, Izagiri dan Feona bersembunyi di balik tembok yang hampir roboh. Di depan mereka, sesosok makhluk merangkak perlahan, tubuhnya besar dan menjijikkan, tanpa kepala, namun bagian dadanya menganga seperti mulut raksasa yang siap menelan dunia.

Izagiri memicingkan mata, berbisik, "Itu yang dimaksud sama mbak Cessia?"

Feona melirik tajam. "Bodoh, profesor Cessia," bisiknya, sedikit menggeram.

Izagiri mengangkat bahu santai. "Lah, dia gamau kupanggil prof, katanya gak nyaman dipanggil atasan."

Feona mencibir, lalu dengan suara menggoda menyusup, "Kalau gitu, panggil aku kakak tersayang, dong."

"Ya, ya... kakak tersayang..." gumam Izagiri malas.

Feona cemberut, lalu mencubit pipinya. "Ucapinnya niat dikit, kek!"

Meski bayangan kematian mengintai hanya beberapa meter di depan mereka, tawa kecil di antara bisikan membuat dunia yang hancur ini terasa sedikit lebih hangat.

Sambil tetap berjongkok di balik reruntuhan beton yang tertutup debu dan lumut, Izagiri hanya tersenyum santai saat pipinya dicubit. Suasana yang seharusnya mencekam berubah sejenak menjadi ringan, seperti biasa saat mereka berdua bersama.

Sementara itu, makhluk mengerikan itu terus merangkak dengan gerakan yang ganjil—bagaikan seekor laba-laba dengan mulut raksasa menganga yang siap menelan apapun. Dagingnya berdenyut, seperti otot yang tidak tahu kapan harus berhenti bergerak. Aroma busuk menyengat menusuk hidung mereka.

Feona menoleh cepat, suaranya rendah namun tajam, “Itu Reaver Maw, tipe baru dari Anomalies. Professor Cessia—ehm, maksudku... si mbak kesayanganmu itu bilang, makhluk ini bisa mendeteksi tekanan udara dari gerakan. Jadi, diam itu bukan pilihan, kita harus pelan dan lembut.”

Izagiri menghela napas perlahan, “Pelan dan lembut? Aku manusia, bukan kain satin.”

Feona melirik dengan tatapan mengancam, “Satin gak pernah ngomel.”

Izagiri menahan tawa, menunduk sedikit lalu mengaktifkan mode senyap di rompinya. Cahaya tipis berwarna biru muncul sebentar sebelum meredup kembali.

“Baiklah, kakak tersayang. Siap-siap lari kalau dia mulai gigit tanah,” bisik Izagiri dengan nada menggoda.

Feona memutar bola matanya, tapi pipinya sedikit memerah. "Kau benar-benar... ah, sudahlah. Fokus."

Makhluk itu mendadak berhenti. Nafasnya seperti mendengus lewat daging yang terbuka di sekujur tubuhnya. Seakan mencium aroma ketakutan... atau kehadiran sesuatu.

Dan di saat itu, udara seolah membeku.

Feona menggenggam senjatanya erat. Izagiri pun bersiap.

Dalam dunia yang dikoyak wabah dan kehancuran, terkadang... sedikit canda adalah satu-satunya sisa dari kemanusiaan.

Feona membidik dengan tenang, lalu menembakkan peluru ke kaki makhluk itu. Dentuman kecil terdengar, dan makhluk itu tidak mengeluarkan suara, namun tubuhnya langsung bereaksi liar, meronta dengan gerakan agresif seperti binatang buas yang terluka.

Tanpa aba-aba, Izagiri melesat cepat—seperti bayangan yang tiba-tiba hidup. Dia menghantam makhluk itu dengan tendangan keras, lalu melanjutkan dengan pukulan ke arah tubuhnya yang menganga. Dalam satu gerakan brutal, dia mencengkeram salah satu tangan makhluk itu dan mengoyaknya secara paksa.

Makhluk itu menggelepar sebelum akhirnya tak lagi bergerak.

Feona menurunkan senjatanya, meniup rambut yang menutupi dahinya, lalu bersandar sebentar sambil bergumam, "Inimah ngalahinnya gampang, nyarinya doang susah amat yak."

Izagiri hanya terkekeh pelan, berdiri di sampingnya dengan darah makhluk itu menetes dari sarung tangannya. Meski sudah terbiasa, kenyataan bahwa dunia mereka masih terus memuntahkan horor-horor baru tidak pernah terasa lebih nyata dari ini.

Izagiri mengulurkan tangan dan mengambil suntik yang terletak di saku khusus dalam tasnya. Namun begitu jari-jarinya menyentuh logam dingin itu, udara di sekeliling mereka tiba-tiba berubah.

Angin yang semula hanya berbisik pelan, kini terasa berat dan menekan. Seolah ada sesuatu atau seseorang yang mengamati mereka dari balik bayang-bayang reruntuhan.

Feona langsung menggenggam senjatanya erat, matanya menyapu area sekitar tanpa suara. Ia tetap tenang, tapi gerakannya menunjukkan kesiapan penuh.

"Izagiri, perasaanku tidak enak. Ayo cepat," bisiknya, penuh kewaspadaan namun tetap stabil. Ia menoleh ke arah rekannya, sorot matanya penuh sinyal bahaya.

Izagiri mengangguk cepat, "Baiklah," jawabnya singkat sambil memasukkan suntik itu ke dalam wadah pengaman. Mereka berdua segera bergerak, tak tergesa namun penuh kehati-hatian, seperti dua pemburu yang sadar kalau kini mereka justru yang diburu.

Langkah kaki mereka perlahan menuruni tangga bangunan runtuh menuju jalanan yang ditelan senyap. Udara masih berat, tekanan atmosfer seolah berlipat, dan insting mereka—yang telah diasah oleh tujuh tahun di garis depan kematian—berteriak tanpa suara. Feona melirik ke kanan, Izagiri ke kiri, dan dalam satu tarikan napas mereka berdua terus maju.

Namun, hanya dalam sekejap... Izagiri bergerak cepat. Tangannya menarik tubuh Feona dengan satu gerakan halus namun penuh tenaga, memeluknya rapat sambil menjatuhkan diri ke tanah berdebu.

"Brakhhh!"

Tanah di belakang mereka terpukul keras. Debu mengepul, bebatuan kecil terlempar, dan suara berat yang menyeret—seperti daging mentah yang dilumuri logam karat—terdengar menggema.

Feona membelalakkan matanya. “Apa itu barusan—!?”

Izagiri menoleh cepat, matanya menajam, lalu berkomentar, nada suaranya ringan namun penuh ketegangan,

"Hoi hoi, aku nggak dibilang kalau Reaver Maw juga bisa kerja kelompok."

Pemandangan di hadapan mereka menyambut dengan horor tak terdefinisi, sepuluh makhluk besar merayap dari bayang-bayang reruntuhan, tubuh-tubuh mereka bergeser lambat dengan suara yang menyayat telinga. Mereka semua... Anomalies.

Setiap dari mereka memiliki bentuk serupa, monster menjijikkan tanpa kepala, tubuh membengkak seperti daging busuk, dan bagian dada yang terbuka seperti rahang besar dengan deretan gigi tumpul bergerigi. Beberapa menjilat tanah dengan lidah menjulur dari dalam dada itu, seolah mencoba merasakan keberadaan mangsa lewat tanah yang mereka sentuh.

Suasana menjadi pekat.

Tidak ada angin. Tidak ada suara. Hanya geraman rendah dari mulut-mulut dada mereka, dan hentakan tanah yang bergetar setiap kali mereka melangkah merangkak.

Feona menelan ludah, memindai arah mundur, tapi semua jalur sudah mulai ditutup.

"Izagiri, kita dikeroyok."

Izagiri berdiri perlahan, menarik Feona ke belakang tubuhnya, ekspresinya datar tapi bahunya menegang.

"Pantas aja... pantas aja mereka ngirimin kita, dan pantas juga cuma kita berdua yang masih hidup."

Misi ini bukan cuma pengambilan sampel. Ini... eksekusi pembersihan. Dan mungkin, ujian kepercayaan terakhir dari G.C.O kepada Reaper dan Silent Killer.

More Chapters